Tim Karsa Institute mendarat di Desa Kabalutan, Kepulauan Togean , petang 22 Januari 2022 setelah berlayar lima jam dengan kapal Feri Bela Vista dari Pelabuhan Ampana, Ibukota Kabupaten Tojo Una-una.
Adalah Usman (63 tahun), yang pertama menemui kami di rumah Kades
Kabalutan. Ayah tiga anak itu datang menyapa kami dengan penuh penuh keramahan dan perkenalan itu pun berlanjut sampai pada
kisah dan pengalaman hidupnya selama tinggal dan sebelum menetap di Desa Kabalutan.
Usman berkisah, tiga
puluh tahun setelah datang di Kabalutan, Usman mulai mengenal jalan
pintas untuk menangkap ikan yaitu dengan
cara membom ikan yang sedang bergerombol. Menurutnya, menggunakan bom merupakan cara mudah untuk menangkap ikan.
“Sekali bom saja bisa menghasilkan ratusan kilogram ikan, bisa dibandingkan
dengan cara tangkap tradisional dengan tombak atau pancing, yang paling banter
hanya bisa mendapat 10 hingga 20 kg
selama bermalam-malam,” urai Usman membandingkan.
Semula Usman hanyalah seorang nelayan
biasa, yang menangkap ikan dengan cara tradisional: memakai jaring, pancing atau menyelam memakai tombak. Tahun 1986 kenangnya, tangkapan ikan di Kawasan
Kabalutan sangat bagus. Berbagai jenis ikan termasuk kakap, kerapu besar yang
beratnya sampai 40 kg bahkan ikan Napoleon yang panjangnya satu meter pernah
ditangkapnya.
Tapi pengaruh luar yaitu metode
menangkap ikan dengan bom rakitan ternyata tanpa sadar telah
ikut menggoda dan mempengaruhinya. Bagaimana tidak? “ Melihat hasil
tangkapan yang berlimpah, sedangkan cara
menangkapnya yang paling mudah bisa dilakukan dengan sekejap mata dengan hanya
sekali lemparan bom,” ujar Usman. “Tahun
1990-an satu botol sprite yang diisi
bahan peledak mampu menghasilkan ikan
setara dengan seekor sapi. Saat itu harga sapi Rp. 1,25 juta.” Oleh karena itu Usman keranjingan dan mencoba untuk
merakit sendiri bom ikan yang
teknik-teknik perakitannya ia
kuasai walau secara otodidak.
Dari situlah dia mulai menjadi pembom ikan yang juga menularkan kepandaiannya ke beberapa nelayan lain. Sampai akhirnya ia sadar bahwa ikan yang tadinya mudah didapat, kini mulai susah didapat karena ledakan bom bukan hanya membunuh benih-benih ikan, tetapi juga merusak terumbu karang, habitat dan tempat hidup dan berkembang berbagai jenis ikan dan biota laut.
Berjam-jam melaut, ternyata hasil tangkapan
tidak menggembirakan, mengecewakan bahkan tidak balik modal. Akhirnya bapak tiga anak ini dan kakek satu orang cucu ini pun sadar bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan fatal. “Saya
tersadar dan meneteskan air mata, kalau sekarang saja sulit mencari ikan.
Bagaimana nanti anak cucu saya yang menjadi nelayan mencari nafkah?” Akhirnya Usman
Djumaih memutuskan berhenti dan kembali menangkap ikan dengan alat tangkap
tradisional.
Gelar “Jendral Bom” secara berseloroh
dilekatkan padanya oleh Pak Damsik, Bupati
Tojo Una-Una pun suatu ketika turut memperkenalkan dirinya sebagai
‘mantan jenderal bom’.
Semenjak program Conservation Internasional (CI) tahun 1994-2000, Usman dilibatkan sebagai Pelopor Konservasi,
sehingga lelaki kelahiran 30 September 1959 itu mampu mengedukasi warga yang dulunya pembom ikan
menjadi nelayan tradisonal yang mencintai dan ramah terhadap lingkungan. Jika dulunya jumlah pembom ikan sangat
tinggi, kini tinggal kurang lebih 6 KK yang masih menangkap ikan dengan bom.
Lewat Program
Critical Emergency Partnership Fund
(CEPF 2) Burung Indonesia yang
bekerjasama dengan Karsa Institute,
Usman dilibatkan dalam Kelompok Nelayan
Tangkap Ikan Karang yakni kelompok “PADAKAUANG”. Karena pengalaman dan
kemampuan leadership-nya akan terus menjadikan Usman sebagai tokoh berpengaruh dan pembawa perubahan baik di Desa Kabalutan dan desa sekitarnya. (Iwan Hamid). Berita terkait ada di Channel Youtube Voice Talent Touna